Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina |
Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina, Ketekunan Edi purwanto melakukan penelitian berbuah karya fenomenal. Lima karya inovatif berhasil dia ciptakan. Yakni alat pembengkok tulang, alat pendeteksi kesehatan paru-paru, alat pemotong bakteri, dan alat penggambar organ tubuh mirip rontgen. Karya terakhirnya adalah metode perkawinan ikan yang khusus membuahkan bibit betina.
Ruang penelitian dan pengabdian masyarakat (P2M) Polinema, Jalan Soekarno-Hatta terasa sunyi. Ada beberapa pegawai, tapi tak saling menyapa karena sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Edi pur wantoyang duduk di kursi tamu, tampak serius mengamati video perilaku ikan mas di laptopnya. ”Ini hasil temuan saya,” kata Edy sambil menunjukkan video metode pembibitan ikan mas, Senin (12/5) lalu.
Nada bicaranya kalem. Tapi prestasinya seolah ingin berlari kencang dan siap bersaing dengan ilmuwan lainnya. Edy adalah dosen Polinema yang memiliki beberapa penemuan canggih. Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
Pembibitan-ikan penemuan terbarunya adalah metode pembibitan ikan dengan hasil keturunan semuanya berjenis kelamin betina. Penemuan itu sudah diuji coba sejak tahun 2012 dan hasilnya menakjubkan. Seluruh anak ikan hasil pembibitan ala teknologi Edy, berjenis kelamin betina. ”Sistem ini sudah diterapkan peternak ikan di sekitar Selekta (Kecamatan Bumiaji, Kota Batu),” kata dosen Teknik Mesin Desain itu.
Penemuan Edy memang telah mendongkrak produksi ikan. Karena bobot ikan betina lebih berat dibandingkan ikan jantan. Tentu hasil penjualannya lebih mahal dan keuntungan peternak lebih besar. ”Ikan hasil temuan saya, bobotnya meningkat 25 persen dibanding ikan normal,” ucap pria berusia 53 tahun itu.
Sejak awal, metode pembibitan agar menghasilkan keturunan ikan betina itu diperuntukkan bagi peternak ikan. Sekitar tahun 2012 lalu, Edy dan tiga temannya sesama dosen Polinema mendapat dana hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjend Dikti). Ketiga kawannya adalah Totok Winarno, Eka Mandayatman, dan Maftuch. Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
Mereka melakukan penelitian di Bumiaji, Kota Batu. Saat itu, dirinya disambati peternak ikan karena merosotnya harga ikan. Agar tidak rugi, para peternak ingin meningkatkan produksi. Namun, untuk memperbanyak jumlah bibit ikan sudah tidak mungkin. Satu-satunya solusi adalah menambah berat bobot ikan. Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
Nah, dari keluhan itu, Edi pur wantomencari metode perkawinan yang membuahkan bibit betina. Sebenarnya, upaya menambah berat bobot ikan bisa dilakukan dengan penyuntikan hormon. Tapi peternak enggan melakukannya, karena dikhawatirkan ada efek negatif bagi pengonsumsi ikan tersebut. ”Cara yang paling efektif, ya dengan menjadikannya ikan betina semua,” kata pengajar kelahiran Jogjakarta, 22 Januari 1961 ini.Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
Butuh waktu dua tahun untuk menghasilkan metode agar seluruh ikan hasil pembibitan berjenis kelamin betina. Bukan metode perkawinannya yang lama, melainkan uji coba alat. Ada dua alat yang dibutuhkan, yakni lampu radiasi untuk melemahkan sel sperma, dan alat pengejut atau pengatur suhu yang berfungsi menghambat hormon penghasil bibit jantan.
Metode pembibitannya gampang. Edy mengambil sperma dari ikan jantan, lalu dipanasi dengan lampu radiasi yang dia ciptakan. Lampu tersebut berisi sinar ultraviolet jenis C yang berfungsi melemahkan sperma. Setelah itu, sel telur dari ikan betina diambil dan digabungkan dengan sperma yang sudah dilemahkan. Keduanya diletakkan di atas cawan berisi air panas dengan suhu 40 derajat Celsius. Pemanasan dilakukan melalui alat pengatur suhu yang juga dia ciptakan. Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
”Butuh waktu sekitar 2 menit untuk sekali pembuahan,” kata alumnus S2 Jurusan Komputer Integrated Manufacturing Huddersfielt United Kingdom, Inggris itu.
Setelah temuannya berhasil diujicobakan oleh peternak ikan di kawasan Selekta, Edy mengembangkan alat temuannya lagi. Saat ini, proses produksinya berlangsung. Rencananya akan disumbangkan ke peternak ikan Sumber Mina Lestari di Dusun Banjartengah, Desa Sumbersekar, Kecamatan Dau. Dia ingin peternak ikan di Sumbersekar juga menikmati hasil produksi ikan berkualitas, sebagaimana yang dirasakan peternak ikan di kawasan Selekta.
Metode pembibitan yang menghasilkan 100 persen ikan betina itu bukan penemuan pertama Edy. Tahun 2002 lalu, dia bersama dr Satria Wiyanto dari RSI Aisyiah, menciptakan alat pembengkok tulang. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 2005, dia bersama temannya dari Universitas Brawijaya (UB) menciptakan alat pendeteksi kesehatan paru-paru. Cara kerja mengukur volume paru-paru, sehingga bisa diketahui apa paru-paru mengembang dengan sempurna atau tidak.
Tahun 2007, dia menciptakan dua alat canggih di bidang kesehatan. Pertama, alat pemotong bakteri. Alat ini diciptakan bersama temannya asal UB, yakni Prof Sumarno. Melalui alat tersebut, dia mampu mengidentifikasi penyebab penyakit tifus.
Kedua, yakni alat penggambar organ tubuh tanpa Elektrical Impedence Tomografi (EIT). Alat ini kerjanya lebih canggih daripada rontgen yang dipakai rumah sakit (RS). Jika tampilan hasil kerja rontgen berupa film, EIT menampilkan gambar sebagaimana aslinya. ”Kalau rontgen, tidak baik digunakan pada manusia sesering mungkin. Tapi kalau EIT ini aman,” kata dia.
Yang membuat Edy berbeda dengan ilmuwan sekaligus peneliti lain adalah, dia tidak sekadar menemukan alat. Tapi juga mempunyai wawasan luas tentang medis. Rupanya, penguasaan istilah medis yang ditunjang dengan kepiawaian mendesain alat, ternyata berawal dari salah pilih jurusan.
Saat memasuki Sekolah Teknik Mesin (STM), sekarang disebut SMK, Edy ingin masuk jurusan yang mengajarkan mesin sepeda motor dan mobil. Dia tidak tahu bahwa untuk menguasai sepeda motor dan mobil, harus masuk jurusan otomotif. ”Saya kira jurusan mesin itu untuk perbaikan sepeda motor. Ternyata bukan,” kata dia.
Meski begitu, dia tetap melanjutkan studinya hingga tuntas. Bahkan, di jenjang strata satu, dia melanjutkan ke Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), sehingga penguasaannya tentang mesin makin matang. Metode pembibitan menghasilkan 100 persen ikan betina
Selepas kuliah, dia sempat bekerja di Rumah Sakit (RS) Aisyiah, Malang. Dia mengamati banyak peralatan medis yang mahal, tapi tak bisa diperbaiki. Akhirnya dia berusaha membuat alat-alat medis canggih. (Sumber : Radar Malang)